Untuk masyarakat Indonesia mungkin tidak ada yang tidak tau Malioboro. itu adalah nama jalan di
kawasan Yogyakarta. Panjang jalan Malioboro tak lebih
dari dua kilometer, tapi jangan anggap enteng. Bagi orang-orang yang berwisata ke
Yogyakarta, ada pameo, “Belum ke Yogyakarta kalau belum ke Malioboro”. Agak
mengherankan karena representasinya bukan kraton atau alun-alun. Alasannya,
para pengunjung berangkat dari perspektif ‘souvenir’ mungkin oleh-oleh seperti
kaos, art craft dan handycraft dimana Malioboro merupakan pusatnya, perspektif
yang lekat pada pariwisata.
Yang
dimaksud kosmologi Malioboro adalah posisinya dalam perspektif dunia kosmologi
Jawa. Bentangan garis di antara Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak,
dan Samudera Indonesia dipercaya masyarakat Jawa sebagai “sumbu magis yang
mencerminkan perjalanan hidup manusia dari kelahiran sampai kematian”. Fungsi
Malioboro sendiri yang terletak dalam garis itu, menjelang Kraton merupakan
“penanda garis yang menghubungkan antara fase kehidupan manusia yang telah
mencapai posisi duniawi”.
Dalam
postingan ini bukan hanya membahas fungsi ekonomi Malioboro. tetapi bagaimana
pembangunan Malioboro tetap mempertahankan ranah politik dan adat atau budaya
yang juga dicakupnya, serta menjaga keharmonisan dan kenyamanan para pengguna
ruang di kawasan ini. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan ranah
modernisasi di Malioboro cenderung memberikan ruang bagi pertumbuhan
komersialisme sehingga mengabaikan kedua ranah lainnya, adat dan politik.
Perkembangan ini juga menyebabkan benturan kepentingan antara pemilik toko
dengan pedagang kaki lima, dan warga kampung dengan pedagang angkringan, yang
berakar pada benturan kepentingan atas fungsi ruang