mengapa harus ke Malioboro

      Untuk masyarakat Indonesia mungkin tidak ada yang tidak  tau Malioboro. itu adalah nama jalan di kawasan Yogyakarta. Panjang jalan Malioboro tak lebih dari dua kilometer, tapi jangan anggap enteng. Bagi orang-orang yang berwisata ke Yogyakarta, ada pameo, “Belum ke Yogyakarta kalau belum ke Malioboro”. Agak mengherankan karena representasinya bukan kraton atau alun-alun. Alasannya, para pengunjung berangkat dari perspektif ‘souvenir’ mungkin oleh-oleh seperti kaos, art craft dan handycraft dimana Malioboro merupakan pusatnya, perspektif yang lekat pada pariwisata.
Yang dimaksud kosmologi Malioboro adalah posisinya dalam perspektif dunia kosmologi Jawa. Bentangan garis di antara Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak, dan Samudera Indonesia dipercaya masyarakat Jawa sebagai “sumbu magis yang mencerminkan perjalanan hidup manusia dari kelahiran sampai kematian”. Fungsi Malioboro sendiri yang terletak dalam garis itu, menjelang Kraton merupakan “penanda garis yang menghubungkan antara fase kehidupan manusia yang telah mencapai posisi duniawi”. 

     Dalam postingan ini bukan hanya membahas fungsi ekonomi Malioboro. tetapi bagaimana pembangunan Malioboro tetap mempertahankan ranah politik dan adat atau budaya yang juga dicakupnya, serta menjaga keharmonisan dan kenyamanan para pengguna ruang di kawasan ini. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan ranah modernisasi di Malioboro cenderung memberikan ruang bagi pertumbuhan komersialisme sehingga mengabaikan kedua ranah lainnya, adat dan politik. Perkembangan ini juga menyebabkan benturan kepentingan antara pemilik toko dengan pedagang kaki lima, dan warga kampung dengan pedagang angkringan, yang berakar pada benturan kepentingan atas fungsi ruang


Sejarah
       Jika dirunut dari sejarahnya, pada awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Cikal bakalnya dari kawasan Pecinan di kawasan ini, yang muncul sejak Sultan Hamengku Buwono I mengangkat kapiten seorang Cina, Tan Jin Sing, pada tahun 1755. Nama Jawanya, Setjodingrat, dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Sejak sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah selatan dikenal sebagai pemukiman Pecinan, yang ditandai dengan rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kelontong, emas dan pakaian.
      Kawasan ini kian ramai setelah Kraton membangun Pasar Gedhe (kini Pasar Beringharjo), yang beroperasi sejak 1926. Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu (dibangun pada 1887) dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina
 
Budaya
       Cukup menarik bahwa sebenarnya Kraton (berdiri pada 1756) tidak memasukkan Malioboro sebagai simbol penting dalam tata ruang Kraton. Bahkan ketika Malioboro sisi selatan mulai berkembang, para pengunjung dari luar kota Yogya tidak khusus mendatangi Malioboro tetapi sekadar numpang lewat untuk mengunjungi Kraton atau Loji Kebon.
Tapi pada 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya Senisono. Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi, lalu (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib. Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup.
       Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di Malioboro.
Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro. 


Bukan hanya itu saja. berikut saya berikan obyek wisata yang ditawarkan di Malioboro sekitarnya

 Stasiun Tugu
Stasiun kereta api yg menjadi stasiun utama di Yogya terletak di ujung Malioboro, saat ini merupakan stasiun kereta terbesar di Indonesia. Mulai dioperasikan pada 2 Mei 1887 ini, pada awalnya hanya digunakan sebagai stasiun transit kereta pengangkut hasil bumi hingga pada 1 Februari 1905 digunakan juga sebagai stasiun transit penumpang.



Benteng Vredeburg
Dulunya bernama Benteng Rustenburg dibangun oleh Belanda pada tahun 1760 di atas tanah milik Keraton. Benteng ini dibangun dengan tujuan untuk melindungi Residen Belanda yg bertempat tinggal di dalam areal tersebut. Sejak dibangun, gedung ini telah digunakan sebagai : benteng pertahanan 1760 – 1830, tangsi Belanda dan Jepang 1830 – 1945, markas tentara RI 1945 – 1977. Tahun 1985 gedung ini dijadikan Museum Perjuangan dan dibuka untuk umum pada th 1987 dan pada 1992 berganti nama menjadi Museum Benteng Yogyakarta.


Monumen Serangan Umum Satu Maret 1949
Catatan sejarah yg menjadi kontroversial karena para pelaku sejarahnya mempunyai versi masing – masing dalam mengungkapkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Monumennya dibangun di ujung Jl Ahmad Yani di samping depan dari Vredeburg.


Gedung Agung
Berdiri tepat di seberang Benteng Vredeburg, gedung ini dulunya merupakan kediaman Residen Belanda dan pada masa Soekarno dijadikan sebagai Istana Presiden RI semasa Yogyakarta menjadi ibukota negara RI 1946 – 1949.


Disamping gedung-gedung tersebut, di atas kawasan Malioboro dan sekitarnya terdapat banyak bangunan-bangunan bersejarah lainnya yg masih berdiri kokoh seperti
Gedung Bank Indonesia, Pasar Bringhardjo, Gedung BNI, Keraton Yogya, gedung Pos & Giro dll.


Tertarik??? oleh karena itu saya mengangkat tema Malioboro untuk anda mengenal lebih lanjut, bila anda berkesempatan mengunjunginya silakan melihat kebudayaan dari khas Yogyakarta ini.










¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Buscar

 
Perjalanan mimpi dan nyata Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger